Pages

Minggu, 23 November 2014

Analisis Puisi "Menunggu Telepon Berdering" dengan Teori Michael Riffaterre (Semiotik)


Analisis Puisi “Menunggu Telepon Berdering” 
dengan Teori Michael  Riffaterre ( Semiotik )

Oleh Wahyu Putri Wijayani

MENUNGGU TELEPON BERDERING
Mukti Sutarman SP

menunggu telepon berdering
waktu ke waktu
angka – angka di arlojimu bertanggalan
ke lubuk sunyi hatiku yang rawan

mengapa tak jua kau putar
nomor teleponku
padahal gairah terlanjur begini  berdenyar
harap dan cemas terlanjur begini membakar



empat empat dua lima empat delapan
putarah segera
sebelum udara memepat dan gemetar
cuaca pelan menghampa
lelampu taman kehilangan pendar

menunggu telepon berdering darimu
dan kabar mawar itu
serasa kuarungi beribu kali mati
air yang hijau batin yang kacau
waktu ke waktu, Cuma berkecipak
mengambang
tak hanyut
tak tenggelam
tak sampai
tak kuala

2006



Teori Michael Riffaterre ( Semiotik )
Teks atau puisi menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi bahasa. Dalam semiotik, Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda. Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks, dalam hal ini puisi, menurut Michael Riffaterre ada 4, yaitu sebagai berikut :
1.   Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi Dalam Puisi “Menunggu Telepon Berdering”
Ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi “Menunggu Telepon Berdering” ini disebabkan oleh tiga hal yaitu :
1)   Penggantian arti  (displacing of meaning)
penggantian arti ini karena digunakannya bahasa kiasan di dalam karya sastra, seperti penggunaan majas metafora, metonimia, simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoks, dan lain-lain. Penggantian arti menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi.
a)    Majas Metafora ( Majas Perbandingan )
merupakan kiasan persamaan antara benda yang diganti namanya dengan benda yang menggantinya. Dalam puisi ini menggunakan majas metafora yang tergolong dalam metafora in absentia, yaitu majas yang dibentuk dengan dasar penyimpangan makna. Layaknya bagian metafora yang satu ini memiliki dua kata yang pemaknaannya dibandingkan. Akan tetapi, pemaknaan tersebut bersifat implisit. Majas Metafora in absentia ini tergambar pada bait ke empat, baris ke dua yang bunyinya adalah
...
dan kabar mawar itu
...
Dalam kalimat tersebut terdapat kata “mawar” padahal pada kalimat tersebut tidak ada muncul kata yang menunjuk pada “mawar”. Hal ini mengakibatkan orang-orang yang tidak mengenal pemaknaan “mawar” pada kata tersebut akan bingung. Padahal yang dimaksud adalah mawar sebagai perumpamaan atau persamaan dari seorang manusia yang indah.
b)   Personifikasi
Merupakan kiasan perbandingan antara benda mati seolah – olah memiliki sifat seperti manusia atau mahluk hidup. Dalam puisi ini terdapat majas personifikasi pada :
Ø  bait ketiga baris ketiga
...
sebelum udara memepat dan gemetar
...
Dalam kalimat tersebut menggambarkan bahwa udara dapat gemetar, padahal gemetar adalah sifat atau perilaku dari manusia.
Ø  Bait kedua, baris keempat
...
harap dan cemas terlanjur begini membakar
Dalam kalimat tersebut menggamparkan bahwa harap dan cemas dapat membakar, padahal membakar adalah sifat atau perilaku dari manusia.

2)   Penyimpangan arti  (distorting of meaning)
Riffaterre mengemukakan  bahwa penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense.
a)    Ambiguitas
merupakan kalimat yang mempunyai arti lebih dari satu atau bermakna ganda.  Dalam puisi ini terdapat pada :
Ø  Bait kedua, baris pertama
mengapa tak jua kau putar
...
Dalam kalimat tersebut, tidak dijelaskan siapa yang diminta untuk memutar.
Ø  Bait ke tiga, baris ke dua
...
putarah segera
...
Dalam kalimat tersebut tidak dijelaskan apa yang akan diputar. Maka kalimat ini merupakan kalimat ambigu.
Ø  Bait ke empat, baris pertama
menunggu telepon berdering darimu
...
Dalam kalimat ini, kata “darimu” tidak dijelaskan siapa. Maka kalimat ini merupakan kalimat ambigu
Ø  Bait ke empat, baris ke tiga
...
serasa kuarungi beribu kali mati
...
Dalam kalimat tersebut, kalimat “beribu kali mati” dapat bermakna ganda, yaitu :
a.    Beribu kali mati     = mati berkali – kali
b.   Beribu / kali mati = kali mati yang ada sampai beribu
b)      Kontradiksi
merupakan pertentangan antara dua hal yang disebabkan oleh paradoks atau ironi.
Ø  Paradoks merupakan merupakan majas yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Dalam puisi ini terdapat pada bait kedua.
mengapa tak jua kau putar
nomor teleponku
padahal gairah terlanjur begini berdenyar
harap dan cemas terlanjur begini membakar
Dalam bait diatas menggambarkan bahwa “Aku” merasakan dua keadaan sekaligus, yaitu rasa cemas karena “dia” tidak segera menelpon, dan rasa harap atau harapan yang tinggi dari “aku” kepada “dia” untuk segera menelepon. Maka terdapat majas pertentangan tentang perasaan pada bait tersebut.
c)    Nonsense
merupakan kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. Dalam puisi ini tidak terdapat nonsense karena semua bagian dalam puisi ini bisa dimaknai oleh pembacanya.
3)   Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya (a) enjambement, (b) sajak, (c) tipografi, dan (d) homolog.
a)    Enjambement
merupakan perloncatan baris dalam sajak, membuat intensitas arti atau perhatian pada akhir kata atau kata yang diloncatkan ke baris berikutnya. Enjambemen pada puisi ini terdapat pada :
Ø  Bait pertama baris ketiga dan keempat
...
angka – angka di arlojimu bertanggalan
ke lubuk sunyi hatiku yang rawan
Ø  Bait bait kedua baris pertama dan kedua
mengapa tak jua kau putar
nomor teleponku
...
Ø  Bait ketiga baris kedua dan ketiga
...
putarah segera
sebelum udara memepat dan gemetar
....
Ø  Bait keempat baris pertama, kedua dan ketiga
menunggu telepon berdering darimu
dan kabar mawar itu
serasa kuarungi beripu kali mati
...
b)   Sajak
Merupakan suatu kata yang menimbulkan intensitas arti dan makna liris, pencurahan perasaan pada sajak yang berpola sajak itu. Dalam puisi ini terdapat berbagai macam sajak, yaitu pada
Ø  Bait pertama, baris ketiga dan keempat
...
angka – angka arlojimu bertanggalan
ke lubuk sunyi hatiku yang rawan
Dalam penggalan bait di atas, terdapat kata “bertanggalan
“ dan “rawan” yang berada di akhir baris dengan akhiran – an. Hal tersebut merupakan bentuk sajak yang dapat menimbulkan makna liris untuk menegaskan tentang kepedihan yang mendalam.
Ø  Bait kedua, baris ketiga dan keempat
...
padahal gairah terlanjur begini berdenyar
harap dan cemas terlanjur begini membakar
Dalam penggalan bait di atas, terdapat kata “berdenyar” dan “membakar” yang berada di akhir baris dengan diakhiri huruf “r” yang menimbulkan makna liris untuk menegaskan tentang kekecewaan yang disertai dengan harapan dan kecemasan.
c)    Tipografi
Merupakan tata huruf dalam sajak yang biasanya memiliki makna tersendiri. Dalam puisi ini, terdapat berbagai macam tipografi, di antaranya adalah :
Ø  Di awal baris pada setiap bait puisinya menggunakan huruf kecil. Dimaksudkan untuk menegaskan bahwa “aku” mengalami keputus asaan, kepedihan dan kekecewaan, sehingga menggunakan huruf  kecil.
Ø  Penggunaan koma pada bait keempat, baris kelima. Dimaksudkan untuk menegaskan bahwa setelah kata – kata  “waktu ke waktu” terdapat perasaan yang ingin ditonjolkan lebih dalam, yaitu pada kata “Cuma berkecipak”.
Ø  Penggunaan huruf kapital pada bait keempat, baris kelima pada kata “Cuma”. Dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kata “Cuma” tersebut ingin lebih ditonjolkan perasaannya oleh pengarang. Perasaan yang dimaksudkan adalah perasaan kecewa yang mendalam.
Ø  Terdapat titik pada akhir puisi. Dimaksudkan untuk menegaskan bahwa sudah berakhir penantian yang ada dengan rasa bimbang, kecewa dan sedih yang mendalam.
Ø  Semua bait sejajar, tidak ada yang lebih menjorok ke dalam. Dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa semua rasa yang tertuang dalam puisi tersebut, memiliki rasa yang sama. Makna yang hampir mirip. Tidak ada yang menjadi utama.
Ø  Pada bait ketiga dan keempat memiliki jumlah baris yang lebih banyak dibanding bait pertama dan kedua. Dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada bait ketiga dan keempat pengarang ingin mengungkapkan perasaan yang lebih mendalam dibanding bait sebelumnya. Perasaan yang digambarkan adalah perasaan yang lebih kacau, perasaan yang menderita dan perasaan kekecewaan yang bahkan masih dalam kebimbangan.
d)   Homolog
persejajaran bentuk atau persejajaran baris, bentuk yang yang sejajar itu menimbulkan makna yang sama. Pada puisi ini, terdapat kesejajaran baris dalam setiap baitnya serta terdapat kesejajaran bait dalam puisinya. Hal ini berarti, makna dan arti dari keseluruhan baris adalah sama atau setara. Tidak ada yang ingin ditonjolkan. Semua baris memiliki rasa yang sama. Perasaan yang digambarkan adalah perasaan penantian yang disertai dengan harapan, kecemasan, kesedihan serta kekecewaan.
2.   Pembacaan Semiotik dalam Puisi “Menunggu Telepon Berdering”
Untuk konkretisasi makna puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan retrokatif (hermeneutic). Pada umumnya bahasa puisi menyimpang dari penggunaan  bahasa biasa. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa harus dibuat biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif. Jika perlu, kata-kata perlu diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas.
1)   Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.
a)    Bait pertama
...
waktu ke waktu ( dari waktu ke waktu )
angka – angka di arlojimu bertanggalan ( angka – angka di dalam arlojimu  )
ke lubuk sunyi hatiku yang rawan ( dalam kesunyian hatiku yang rawan   )
b)   Bait kedua
Mengapa tak jua kau putar ( mengapa tidak juga kamu putar )
...
Padahal gairah terlanjur begini berdenyar ( padahal gairah sudah terlanjur sangat menggebu untuk mendapat telepon darimu )
Harap dan cemas terlanjur begini membakar ( dan harapan serta kecemasan sudah terlanjur sangat menggelora )
c)    Bait ketiga
...
Putarah segera ( putarlah segera )
Sebelum udara memepat dan gemetar ( sebelum udara menjadi sangat dingin )
Cuaca pelan menghampa ( lalu cuaca menjadi tidak bersahabat lagi secara perlahan )
Lelampu taman kehilangan pendar ( serta lampu – lampu taman yang perlahan mulai padam )
d)   Bait keempat
...
Dan kabar mawar itu ( dan kabar dari mawar itu )
Serasa kuarungi beribu kali mati ( aku seakan merasakan beribu kali mati )
Air yang hijau batin yang kacau ( air yang berwarna hijau dengan batin yang sangat  kacau )
Waktu ke waktu, Cuma berkecipak ( dari waktu ke waktu, hanya  )
Mengambang ( kemudian mengambang )
Tak hanyut ( akan tetapi tidak hanyut )
Tak tenggelam ( tidak tenggelam juga )
Tak sampai ( bahkan tidak sampai juga )
Ke kuala ( ke muaranya )
2)   Pembacaan Retrokatif ( Hermeneutik )
Pembacaan retrokatif ( Hermeneutik ) adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi).
a)    Bait Pertama
Dalam bait pertama ini diterangkan tentang  keadaan “aku” yang sedang menunggu telepon dari seseorang. Perasaan jenuh, bosan bahkan kesepian dirasakan oleh “aku” dalam menunggu telepon dari seseorang.
b)   Bait kedua
Pada bait kedua menggambarkan bahwa perasaan “aku” makin kompleks dalam menunggu telepon. “aku” memiliki harapan, akan tetapi juga memiliki kecemasan dalam batinnya.
c)    Bait ketiga
Di bait ketiga menggambarkan ketika “aku”meminta kepada “kau” untuk segera memutar nomor telepon “aku”. Karena perasaan dari “aku” yang semakin kacau, sebab tidak juga ditelepon oleh “kau”. Sehingga “aku” merasakan keputusasa-an yang sangat dalam.
d)   Bait keempat
Pada bait keempat atau bait terakhir dalam puisi ini menggambarkan tentang perasaan sedih dan kecewa yang dialami “aku”. Perasaan tersebut timbul karena “aku” telah jenuh untuk menanti kabar dari “kau”.

3. Matriks, Model, dan Varian-varian dalam Puisi “Menunggu Telepon Berdering”
1)   Matriks
Merupakan kata kunci yang terdapat dalam puisi. Kata kunci adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasi. Matriks dalam puisi “ Menunggu Telepon Berdering “ adalah ‘menunggu telepon’ dan ‘kesedihan serta kekecewaan dalam menunggu telepon’
2)   Model
Merupakan transfoemasi dari matriks. Model dalam puisi ini adalah ‘menunggu telepon berdering’ , ‘waktu ke waktu’ , ‘mengapa tak jua kau putar’ , ‘serasa kuarungi beribu kali mati’ dan ‘waktu ke waktu, Cuma berkecipak’.
3)   Varian
Merupakan masalah atau uraian dalam puisi. Varian dalam puisi ini adalah sebagai berikut :
Ø  Varian pertama
Menggambarkan tentang sebuah penantian dari “aku” kepada “kau”, untuk segera menelepon atau memberi kabar kepada “aku”. Dalam penantian tersebut terdapat perasaan yang penuh harapan, namun juga penuh dengan rasa cemas dari “aku”.
Ø  Varian kedua
Menggambarkan tentang perasaan “aku” yang lebih kompleks. Perasaan yang muncul ketika “kau” tidak juga segera menelepon. Perasaan tersebut adalah perasaan sedih, putus asa dan kecewa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar